SANGKAR PERADABAN – Imam Syafi’I adalah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang melihat, akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya, akhlaknya, serta peninggalan yang telah membuat orang yang mengetahuinya akan menghormati memuliakan dan mengagungkannya.
Beliau lahir dari keluarga yang fakir yang tidak memiliki rumah. Beliau juga ditinggal oleh ayahnya Ketika beliau masih kecil sehingga menjadi anak yatim, lalu beliau tinggal bersama ibunya.
Imam Syafi’I sejak kecil hidup dan terdidik dari keluarga yang mulia. Kemuliaanya tersebut menjadikan dirinya menjadi berkah, bahkan sejak kecil beliau sudah hafal Al qur’an dalam usia 7 tahun. Kemudian beliau lanjut menuntut ilmu hadits dan menekuninya, lalu menghafal kitab al-muwattha’ karangan Imam Malik, sehingga tampaklah kecerdasan dan kepiawaian beliau. Bahkan beliau mampu menghafal hadits-hadits Rasulullah dengan cepat dan bersemangat. Sehingga beliau terkenal dan diakui oleh para ulama dan para penyair di Arab, tentang kecerdasan dan kepiawaian beliau.
Fakta ini tak terbantahkan. Mereka pun para syaikh qori’ dan murid beliau yang belajar kepada beliau telah sepakat bahwa beliau adalah rujukan para ulama. Mereka juga mencatatnya dalam persaksian-persaksian yang dirangkum oleh sejarah.
Imam Malik yang merupakan guru Imam Syafi’I telah memuji beliau pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan beliau yang belum matang dan sedang menanggapi tangga kematangan berfikir.
Saat usianya yang ke-15 beliau sudah diangkat menjadi mufti kota Mekkah dan diizinkan untuk mengeluarkan fatwa. Semua karya besarnya masih dijadikan rujukan para ulama seluruh penjuru dunia.
Ibunda Imam Syafi’I adalah seorang pahlawan dan penyebab atas kesuksesan seorang Imam Syafi’i. Sejak kecil Imam Syafi’I sudah dididik dan dijaga terutama untuk perkembangan keilmuannya.
Nama aslinya Fathimah binti Ubaidillah Azdiyah merupakan ahlul bait. Keturunan Rasulullah saw. Dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Fathimah adalah sosok yang cerdas, tegar, dan tidak mengeluh. Suaminya, Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’I wafat di Gaza, saat beliau berusia 2 tahun. Fathimah pun terpaksa harus membesarkan Imam Syafi’I sendirian, tanpa harta warisan dan serba kekurangan.
Kondisinya yang serba kekurangan tidak melunturkan perjuangan Fathimah memberikan yang terbaik bagi putranya. Tujuannya adalah agar kelak sang buah hati menjadi orang hebat yang bermanfaat bagi semua orang.
Adapun cara ibunda Imam Syafi’I dalam mendidik dan membesarkan Imam Syafi’I :
- Menjaga Kehalalan Nafkah untuk Imam Syafi’I.
Fathimah selalu berusaha menjaga kehalalan untuk putranya bahkan sejak masih mengandungnya. Dia khawatir bila ada secuil subhat yang masuk kedalam tubuh Syafi’i. Semua dibiasakan mulai dari dalam kandungan. Suatu Ketika, Fathimah pernah meninggalkan Syafi’I kecil yang sedang tidur sendirian untuk ke pasar. Karna terbangun dan tidak melihat ibunya dimanapun, lantas Syafi’I menangis sejadi-jadinya. Seorang ibu yang merupakan tetangga mereka pun mendengarnya. Ia mencoba menenangkan dan menyusuinya. Sesampainya di rumah, saat mengetahui itu, Fathimah khawatir bila saja ada unsur haram yang masuk ke tubuh Syafi’I melalui susu tadi.
Fathimah pun memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut anaknya sampai beliau memuntahkan semua isi susu yang telah masuk ke dalam perut Syafi’I. Fathimah mafhum apabila ada sesuatu sedikit saja unsur haram, maka akan mempengaruhi karakter anaknya kelak. Sehingga dia sangat berhati-hati terhadap apa saja yang masuk dalam tubuh anaknya.
2. Meninggalkan Rumah dan Menuntut Ilmu
Walaupun kekurangan dalam hal ekonomi, Fathimah selalu berusaha sekeras mungkin agar putranya mendapat fasilitas terbaik dalam menuntut ilmu bersama ulama- ulama terbaik. Karena kecerdasannya yang luar biasa, Fathimah mengijinkan putranya yang saat itu berusia 15-tahun untuk menuntut ilmu keluar kota Mekkah. Syafi’I bilang ke ibunya, habis sudah dia berguru ke semua ulama dengan berbagai disiplin ilmu. Beliau ingin mencari ilmu di tempat lahirnya Rasulullah.
Fathimah dengan berat hati mengijinkan semata wayangnya. Ini merupakan keputusan terbaik untuk keilmuan anaknya agar bisa bermanfaat bagi orang banyak kelak. Allah yang akan menjaga anaknya itu Fathimah pun menyuruh agar Syafi’I tidak pulang sebelum menjadi orang ‘alim dalam agama.
Suatu ketika saat ada perkumpulan majlis ilmu di Masjidil haram terdapat seorang ulama besar dari Irak. Beliau menyampaikan ada seorang gurunya yang berasal dari Mekkah begitu cerdas dan ‘alim dalam agama. Sehingga semua permasalahan dalam agama di Irak bisa terselesaikan berkat gurunya. Semua penasaran siapakah guru tersebut? Ulama besar tersebut menjawab, “pemuda tersebut adalah Muhammad bin Idris As Syafi’I”.
Menangislah sang ibunda karena terharu dan bangga saat mendengarnya, semua do’a dan air mata telah dibayar lunas. Fathimah menceritakan bahwa pemuda yang telah disebutkan tadi adalah anak semata wayangnya yang sudah lama pergi menuntut ilmu. Mendengar hal itu, tunduklah semua rombongan dari Irak, dan bertanya apakah ada pesan yang ingin di sampaikan kepada guru besar Imam Syafi’I ? ibunya hanya menjawab,
“aku telah ridho dan mengizinkannya Kembali pulang“.
Begitulah seorang ibu, dibalik seorang anak yang besar dan sukses, selalu ada perjuangan ibu yang hebat. Sebuah nilai pendidikan luhur yang telah dibiasakan sejak dalam kandungan. Semua do’a dan kerja keras ibunda Imam Syafi’I dalam mendidik anak semata wayangnya telah dibayar lunas. Dia tidak saa melahirkan seorang anak yang hebat, tapi dia juga melahirkan seorang Imam yang cahayanya tak pernah padam.
Nasab Imam Syafi’I
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Abdil Muttalib bin Abdi Manaf Al-Quraisyi (Berkebangsaan-Quraisyi) Al Muttalibi (keturunan Abdul Muthallib) Asy-Syafi’I.
Guru-guru Imam Syafi’I
Beliau menganbil ilmu tentang fikih dan hadits dari para syaikh yang tempat tinggal mereka saling berjauhan dan manhaj-manhaj, mereka dalam beragama berbeda-beda. Bahkan diantara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan ilmu logika yang dilarang oleh Imam Syafi’I.
Jumlah guru Imam-Syafi’I yang terkenal ada 19 orang. 5 dari Mekkah, 6 dari Madinah, 4 dari Yaman dan 4 lagi dari Irak. Adapun yang dari Mekkah adalah: Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid Az-Zanji, Sa’id bin Salim Al-Qaddah, Dawud bin Abdurrahman Al-‘Atthar, dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud.
Adapun yang dari Madinah adalah: Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi, Ibrahim bin Abi Yahya Al-Usami, Muhammad bin Abi Sa’id bin Abi Fadik, dan Abdullah bin Nafi’ Ash-Shana’, Shahabat Ibnu Abi Dza’ub.
Adapun yang dari Yaman adalah: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf (hakim Shan’a), Umar bin Abi Salamah (shahabat Al Auza’i), dan Yahya bin Hassan (shahabat Al-Laits bin Sa’ad).
Sedangkan yang dari Irak adalah: Waki’ bin Al-Jarrah, Abu Usamah Hammad bin Usamah Al- Kufiyan, Isma’il bin Aliyah, dan Abdul Wahhab bin Abdul Majid Al Bashriyani.
Ini semua masih ditambah bahwa Imam Syafi’I telah mengambil ilmu dari kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan dengan cara mendengarkan isinya dari Muhammd. Beliau juga meriwayatkan hadits-hadits dan memahami fiqih ulama Irak darinya. Oleh karna itu, Muhammad bin Al-Hasan termasuk guru beliau.
Imam syafi’I wafat pada malam Jum’at, setelah isya’, setelah beliau melaksanakan shalat magrib pada hari terakhir di bulan Rajab. Imam Syafi’I meninggal pada usia di atas lima puluh tahun beliau telah hidup selama lima puluh empat tahun. Tatkala jasadnya dimakamkan orang-orang melihat hilal bulan Sya’ban tahun 200 hijriah.