Muda, bersahaja, cerdas, dan tangguh.

Muda, bersahaja, cerdas, dan tangguh. Mungkin kata-kata itu yang dapat saya gambarkan untuk beliau, Alm. KH. Subhan Hafidh Achmad, LC, seorang kyai, bapak, dan abang bagi saya. Perjuangan beliau dimulai dari kecil, kelas 4 SD sudah dititipkan di pondok pesantren yang masih baru berdiri, jauh dari orang tua dan keluarga, di kampung yang masih sepi kala itu. Dan ternyata permulaan jalan itu menjadi api perjuangan yang tak pernah padam, beliau berhasil menjadi khotimin generasi pertama di Ma’had Al-Muqoddasah Ponorogo, dan menjadi salah satu santri yang sangat dekat dengan kyai nya, KH. Hasan Abdullah Sahal.

Foto Almarhum Al-Magfurlah KH. Suban Hafizh Ach   

Begitu banyak pengalaman yang beliau rengguk selama menjadi santri hingga menjadi mahasiswa di Al-Azhar Cairo, sehingga dengan proses-proses itu dan disertai dengan didikan dan doa dari orang tua dan guru-guru yang hebat, beliau juga menjadi sosok yang hebat. Usia hanyalah angka, namun api semangat perjuangannya tak pernah padam terbawa angin cobaan, amal jariyah belia in syaa Allah akan terus mengalir, menerangi rumah singgahnya saat ini.

Masih teringat jelas di memori saya, betapa ketika itu saya dalam kebingungan mencari pondok pesantren yang mau menerima saya sebagai santri pindahan, dan beliau rahimahullah dengan senang hati membukakan pintu selebar-lebarnya untuk menerima saya sebagai santri Daru Tartila, menimba ilmu dan pengalaman dari beliau rahimahullah.

Di awal saya menjadi santri, beliau kemudian memberikan saya beberapa wejangan nasihat karena selain sebagai santri, saya juga dianggap ‘adik junior’nya karena kami sama-sama alumni dari satu almamater, Ma’had Al-Muqoddasah Ponorogo, begitu juga dengan KH. Jasin Sadikin, LC. Diantara nasihat beliau ketika itu : “Belajarlah untuk menyerap segala sesuatu di sekelilingmu. Karna itu tak diajarkan dilembaga manapun.” Satu wejangan yang begitu memecut semangat saya untuk lebih dalam melihat suatu hal yang terjadi, kemudian mengolahnya menjadi sebuah pemikiran dan pengalaman. Beliau paham betul bahwa saya hadir di keluarga yang juga mengurus sebuah yayasan, dan beliau ingin agar saya bisa lebih berkembang dan mencontoh jejak beliau. “Setidaknya kamu bisa mencontoh saya atau kakak-kakakmu yang lain (dalam mengurus pondok pesantren), kalau kamu mengikuti kyai Hasan terlalu berat, beliau terlalu sempurna.”. kata-kata beliau ini juga sebagai bukti bahwa beliau sangat mengagumi kyai nya, dan sebagai ‘kakak’ yang menyayangi adik juniornya.

Suatu ketika saya dipercayakan menjadi pengajar tahfizh oleh bidang ketahfizhan, beliau kembali memberikan saya nasihat : “Jadilah guru yang berkarakter, jangan menjadi guru yang keberadaannya sama saja seperti ketiadaannya. Karna yang terpenting dari dari seorang guru adalah ruh nya. Ruhul ustadz ahammu minal ustadz.” Nasihat ini benar, dan saya melihatnya dalam diri beliau. Selain menjadi sosok ‘guru’ itu sendiri, yang lebih penting adalah kita menjadi sosok yang dicintai oleh murid, agar perintahnya dikerjakan dengan suka cita, bukan terpaksa, agar hadirnya selalu dinanti, dan perginya akan dikenang. Hingga saat ini saya menjadi seorang guru dan saya terus berpegang pada nasihat tersebut, berusaha menjadi guru dengan versi terbaik di hati murid-murid. Seperti kyai kami tercinta, Alm. KH. Subhan Hafidh Achmad, LC. Beliau tidak menjadi sosok guru yang ‘ditakuti’, namun beliau sangat dicintai dan disegani. Pandangannya luas, jauh mencapai masa depan, selalu optimis dengan para santri-santrinya dan tak kenal lelah mengabdikan dirinya serta menularkan semangatnya kepada kami santrinya. Itulah mengapa beliau menyematkan dirinya sebagai ‘khodim tholabah’, adalah beliau memposisikan dirinya sebagai pelayan ummat, berat rintangan dan cacian menjadi tuaian pahala baginya. Bahkan ketika saya sakit dan harus dirawat di rumah selama beberapa waktu, beliau menyempatkan diri bersama guru-guru lainnya berkunjung ke rumah, merupakan suatu kenangan yang sangat berharga bagi saya.

April 2021 ketika saya ingin pamit dari Daru Tartila, adalah menjadi pertemuan terakhir saya dengan beliau. Ketika itu beliau masih dalam keadaan sehat wal ‘afiyat, masih sama seperti yang biasa saya temui. Dan beliau juga masih memberikan saya wejangan agar selalu menjadi bermanfaat dimanapun kaki ini berpijak. Sempat waktu itu saya menangis di hadapan beliau, karna beberapa bulan sebelumnya pimpinan pondok kami (Al-Muqoddasah), KH. Haikal Yanuarsyah rahimahullah berpulang. Beliau menenangkan saya dan berkata, “Masanya gus anca sudah selesai, giliran kamu neng mempersiapkan diri, boleh menangis tapi jangan menangisi, kirimkan Al-Fatihah untuk beliau, in syaa Allah min Ahlil Jannah.”

Dan tak pernah terbayangkan kira-kira 3 bulan setelahnya saya harus kembali merasa kehilangan sosok kyai dan pemimpin, ribuan tetes air mata jatuh mengantar kepergian beliau rahimahullah. Tidak, kami tidak menangisi kepergianmu kyai. Kami hanya bersedih, mengapa orang baik selalu mendapat kesempatan yang lebih sedikit untuk membersamai kami. Kami masih membutuhkan banyak bimbingan darimu, tapi kami sadar bahwa Allah lah sebaik-baik pembimbing. Kau hanyalah sebagai perantara yang kapanpun bisa Allah panggil ke haribaan-Nya. Kami sangat ikhlas dan menerima keadaan dengan hati yang lapang. Kereta Daru Tartila harus tetap berjalan, semangat perjuanganmu akan kami lanjutkan. Haturan terima kasih kami tak akan putus, lewat doa-doa yang kami kirimkan untukmu kyai. Istirahat lah dengan tenang dalam keabadian, saatnya kami yang melanjutkan estafet perjuanganmu.

“Ya Ayyatuhan-nafsu-l-muthmainnah. Irji’ii ilaa rabbiki radhiyatan-mardhiyyah”.

Penulis : Muniratuz zahriyyah ( Santri Alumni 2020 )

Editor : Faiz Salman Al-Fariesy

Facebook
WhatsApp
Telegram

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *