Kita sering mendengar bahwa bapak sebagai khaddam santri, di Gontor itu melanjutkan, di al-Muqoddasah itu merintis, dan di al-Mawaddah itu memperbaiki. Mendengar nama Gontor saja sudah terbayang santrinya ribuan, ditambah jumlah santri al-Muqoddasah dan al-mawaddah. Lalu tanggungjawab sebagai suami dan ayah dalam keluarga ditambah beliau sebagai TRI MURTI. Sudah pasti satu kata: LELAH
Kembali ke al-Muqoddasah. Saya masuk al-Muqoddasah tahun 1993. Zamannya saya mondok, al-Muqoddasah membuat peraturan bahwa santri di malam hari dilarang tidur di masjid. Namun malam itu, ketika belajar malam, -kebetulan kelompok belajar saya di masjid-, saya merasa ngantuk berat. Lalu ketika hilang rasa ngantuk, saya pun tertidur. Begitulah, tidur adalah obat paling mujarab buat santri saat ngantuk. Saya terbangun mendengar suara “kresek..kresek..” dan suara itu pula yang kemudian menyadarkan saya bahwa malam itu telah melanggar peraturan pondok “DILARANG TIDUR DI MASJID”. Melirik jam masjid, nampak jarum pendek dan panjang menunjuk angka dua belas. Tepat tengah malam. Dalam hati bergumam, kawan-kawan pasti sudah berusaha membangunkan. Namun apa daya, kemampuan tiada untuk memindahkan saya ke kamar. “Berat” kata mereka, waktu esoknya saya tanya. Terimakasih kawan-kawan, karena telah meninggalkan saya di masjid sendirian.
Ayahanda Guru KH. Hasan Abdullah Sahal
Kembali ke cerita. Di dalam masjid yang gulita. ditemani suasana lengang khas masjid saat sepi. Suara ‘kresek-kresek’ itu semakin jelas di telinga dan sangat menarik hati. Tapi karena menyadari kenyataan bahwa saya melanggar peraturan. Maka tetap berpura-pura tidur adalah solusi terbaik. Sambil menggeliat lalu memutar posisi mata ke arah sumber suara. Subhanalllah-Allahu Akbar, kyai kami, guru kami, ayahanda kami, bapak KH. Hasan Abdullah Sahal terlihat sedang ngaduk semen, pasir, kerikil, dll dengan cangkul lalu memasukkannya ke dalam ember dan nenteng ember tersebut di kedua tangannya menuju mimbar. Ya, saat itu masjid al-Muqoddasah sedang ngecor mimbar. Entah sudah bolak-balik ke berapa kali beliau ngaduk-nenteng-ngecor. Karena tetiba mata kembali terpejam. Tidur.
Pemandangan malam itu meninggalkan kesan begitu mendalam. Bapak dengan tanggungjawabnya yang begitu besar masih menyisihkan waktu untuk bangun malam dan melanjutkan pekerjaan para tukang bangunan. Di pelupuk hati, kesederhanaan dan kesahajaan itu melekat erat dalam kebesaran amal dan perjuangan bapak. Mungkin sistem pondok bisa dirasakan semua santri. Namun kenangan seperti yang saya alami adanya di ruang privasi. Semoga bapak berkenan jika saya berbagi cerita ini supaya kami anak-anakmu sanggup meneladani. Terakhir, do’a kami selalu untuk bapak, semoga lelahmu yang lillah berbuah jannah. Amin
Penulis : Almarhum Al-Maghfurlah KH. Subhan Hafizh Ach, Lc, M.sos,