Rumah Cahaya di Tengah Kota dengan Jendela Menghadap ke Surga

Tiba Jumat tengah hari, Saya disambut macet dan polusi. Dari Madura singgah di Jakarta, lalu menuju Bekasi. Sepanjang jalan tak ada pohon nyiur atau siwalan melambai-lambai. Hanya pohon beton dan besi yang subur ditanam. Mungkin, bagi orang-orang kota beton dan besi lebih naung dan buahnya lebih segar dari pada degan atau siwalan.

Selain gemar menanam pohon beton dan besi, nampaknya orang-orang kota juga hobi menanam televisi. Dengan layar yang bermeter-meter, bukan lagi berinchi-berinchi. Mungkin mereka kelebihan duit. Tidak seperti di desa, yang mana duit masih menjadi barang antik, dan mencarinya bukan kepalang sulit. Orang-orang desa harus menanam air laut, mungkin juga air mata, di tambak-tambak garam untuk ditukar dengan duit, si barang antik.

Hal lain yang membuat saya curiga bahwa orang-orang kota berduit banyak adalah soal harga. Di tengah perjalanan, saya melihat sebuah papan iklan menawarkan es teh seharga 25.000 rupiah. Saya yang orang desa kaget. “Kalau di desa, uang segitu, kan, bisa buat beli beras sekilo lengkap dengan lauk pauk sederhana dan cukup dimakan 3-4 orang hingga sore!”

Lantas saya ingat, seorang teman asal Jakarta, yang suka ngomong lu-gue, dahalu ketika masih di pondok pernah bercerita bahwa untuk masuk house-music minimal harus mengantongi uang 3 juta. Saya nyahut, “Di desa saya, uang segitu bisa buat selametan; baca tahlil dan yasin lalu makan-makan mewah bareng tetangga sekampung.”  “Di kota, duit segitu, mah, masih belum seberapa.”, begitu katanya.

Saya juga menduga, ketika menyaksikan orang-orang yang sibuknya melibih jarum detik jam saya, bahwa mereka memilik semangat dan etos kerja tinggi. Semua orang yang lalu lalang di sepanjang jalan, di trotoar tidak ada yang santai. Semua terburu-buru. Balapan dengan waktu. Motor-motor dengan gesit meliut-liut sepeti belut di lupur sawah. Mobil-mobil juga saling sahut memainkan klakson, tak sabar dengan macet. Pantas saja bila kota identik dengan kemajuan, begitu batin saya.

Walaupun di sudut lain juga saya juga melihat orang-orang berktifitas di bawah naung gubuk kardus, di kolong-kolong jalan layang. Barangkali mereka bukan betul-betul tidak berduit. Hanya saja tidak sedang pegang duit. Mungkin mereka lebih suka menyimpan uang di bank ketimbang memegangnya sendiri. Atau mungkin uang mereka disimpan di kantong-kantong pejabat, di kantor-kantor lembaga kesejahteraan rakyat.

Agaknya mereka juga orang-orang baik hati dan cenderung mengalah. Tanah-tanah mereka yang seharusnya mereka bangun di atasnya sebuah rumah, mereka biarkan untuk ditanami pohon beton dan besi. Yang penting buahnya yang lebih segar ketimbang degan dan siwalan itu dapat mereka rasakan bersama kelak. Kalau tidak sekarang di dunia, ya nanti pasti di akhirat.

Apakah orang kota bahagia? Tentu saja, kenapa tidak?! Di kota banyak tempat-tempat hiburan. Pusing sedikit, ya tinggal pergi piknik. Banyak mall dan  pasar-pasar besar. Lengkap dengan gedung-gedung bioskop modern. Lalu, apa alasan mereka tidak bahagia. Di desa ada apa? Sawah-sawah berlumpur. Hutan-hutan yang juga sudah mulai gundul. Dengan setapak-setapak sempit.

Kalaupun ada yang bikin sumpek dan mengganjal kebahagian orang kota, paling-paling ya masalah padatnya jam kerja. Mereka terlalu sibuk dengan kerja sehingga kurang kumpul bersama keluarga. Mungkin juga karena mata lelah mereka tidak pernah menatap senja. Sore-sore di saat orang-orang kampung duduk minum teh di beranda rumahnya, mereka orang-orang kota masih balapan dengan waktu di jalanan yang mampat, tidak semapat menghadap langit. Di situlah mungkin kehidupan kota terasa semi-neraka. Tapi barangkali, itulah harga bagi kemajuan sebuah kota.

***

Taksi yang saya tumpangi saat itu, melambat ketika memasuki jalan Bintara Raya yang ramai. Lalu menepi tepat di depan sebuah gerbang berwarna merah maron. Sebelum ditunjukkan oleh Ustaz Rois, utusan dari Daru Tartila yang menjemput saya ke Madura, saya tidak menyangka bahwa gerbang itu adalah pintu masuk pondok pesantren bakal tempat tugas saya. Dari depan memang tak tampak pondok. Apalagi jika dibandingkan dengan pintu masuk pondok di desa-desa atau di daerah-daerah lain. Tidak ada gapura berdiri gagah bertuliskan nama pondok.

Saya diantar masuk menuju rumah   

Ustaz Mustaim yang dekat dengan masjid pondok. Saat itu santri dan siswa sedang sibuk bersiap-siap melaksanakan salat Jumat.

***

Saya masih terkesima dan tak habis pikir. Bagaimana bisa di tengah-tengah perkotaan yang padat ini berdiri sebuah pesantren qur’ani? Ini sungguh luar biasa. Bila pesantren ini berada di pedesaan, tentu tak ada yang istimewa. Tapi ini di kota. Tepat di jantung kota. Di kanan kiri diapit oleh gedung-gedung pertokoan. Denyut nadi kehidupan kota yang kencang dan gegas amat terasa. Jalan Bintara Raya yang membentang persis di depannya nyaris selalu menyerukan deru kendaraan dan tak pernah lengang.

Lahan pesantren ini memang terbilang sempit. Harus berbagi pula dengan empat lembaga lain yang memang telah berdiri lebih dahulu. Sebab itulah dalam hal pembangunan, pesantren ini memiliki motto persis seperti Hilo: tumbuh itu ke atas bukan ke samping! Gedung-gedung asrama dibangun ke atas, hingga lantai tiga. Begitupun juga gedung-gedung kelas. Siasat ini cukup ampuh dan inspiratif bagi siapapun yang berniat membangun pesantren dengan lahan yang minim.

Namun pesantren bukanlah lembaga pendidikan, bila mana yang masif dibangun hanya fasilitas, sarana dan pra-sarana, tapi justru lalai dan tidak serius dalam membangun manusia. Membangun manusia adalah tugas utama lembaga pendidikan manapun. Hanya saja pesantren, dengan panca-jiwanya, serta kurikulum hidup dan kehidupan, ditunjang dengan budaya serta kearifan khas lainnya, diyakini mampu memberikan pendidikan yang komperhensip bagi santri-santrinya.

Santri – Santri Pondok Pesantren Daru Tartila

Barangkali ini juga merupakan misi tersulit sekaligus tantangan terberat yang harus terselsaikan walaupun dengan berdarah-darah. Karena tak alasan yang dapat menghentikan niat baik. Dalam hal ini, Daru Tartila adalah representasi dari niat baik sekaligus ketegaran itu sendiri. Para Pendiri, Kiai-Nyai, Ustaz-Ustazah, adalah motor aktif yang terus bergerak secara istikamah di balik itu semua.

Selama 24 jam, pendidikan terus diberikan kepada para santri, secara terus menerus tiada henti. Bentuknya bisa beraneka ragam. Secara garis besar pendidikan di pesantren setidak-tidaknya dapat terbedakan menjadi empat macam; pendidikan spiritual, moral, emosional, dan akal yang mana, keempat-empatnya sama-sama penting bagi manusia. Oleh karenanya, ketika lembaga di luar pesantren sibuk menggagas pendidikan karakter, full day school, kalangan pesantren santai-santai saja dan tidak pernah meributkan hal itu. Bahkan gagasan tersebut terkesan out of date karena kesemuanya telah tercakup dalam sistem pendidikan pesantren dan telah berlangsung cukup lama yakni sejak awal sejarah berdirinya.

Sebagaimana telah disinggung, membangun manusia bukanlah perkara yang mudah. Tidak semudah membeli bahan-bahan material dan menyewa tukang untuk membangun sebuah rumah, mengunduh atau membeli software lalu menginstalisasi pada perangkat komputer atau smartphone kita. Karena manusia bukan makhluk materi semata. Bukan robot yang bisa bergerak semau kita dengan sekali menekan tombol perintah. Maka membangun manusia, (para santri/wati) membutuhkan waktu yang bisa jadi tidak sebentar. Juga memerlukan kesabaran dan keteguhan hati. Hal ini perlu disadari semua pihak agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Di samping misi umum itu, tentunya masing-masing pesantren juga memiliki misi khusus. Daru Tartila sendiri, selain memiliki sosok kiai atau pengasuh seorang hafidz Al-Quran yang juga bernama KH. Subhan Hafidz Ach., Lc, juga memiliki misi yang sama persis dengan nama dan predikat kiainya yaitu mencetak kader hafidz-hafidzah.

Almarhum Al-Maghfurlah KH. Subhan Hafizh Ach, Lc, M.sos,

Di pesantren ini, para santri dari segala usia diajar membaca Al-Quran dengan baik dan benar secara bertahap, sesuai kapasitasnya. Lalu diajarkan mengahafal ayat demi ayat. Hasilnya, 2017 lalu, tepat dengan sewindu usianya, Daru Tartila telah mewisuda seorang santriwati setalah lulus ujian hafalan 30 juz. Selanjutnya, akan disusul juga oleh junior-juniornya mengingat beberapa santri/wati telah mengahafal belasan bahkan sudah hampir 30 juz.

Prestasi membanggakan ini menandakan bahwa Daru Tartila mampu menginventarisir, memotivasi serta mengembangkan potensi para santri/wati dalam menghafal Al-Quran. Prestasi ini tentu bukan didapat secara cuma. Ada harga yang harus dibayarkan berupa proses panjang yang tiada henti dilakukan. Ada kerja sama antara pihak pesantren, santri dan wali santri. Semua salign mendukung, saling memadukan langkah untuk menggapai impian mulia. Kini, usia Daru Tartila sudah memasuki satu dasawarsa. Para Kiai/Nyai, Ustaz/Ustazah masih senantiasa setia membimbing dan mengajar para santrinya. Para santri/wati senatiasa tekun menghafal, belajar, di serambi-serambi kamar, di masjid atau musalla, di kelas, di bawah pohon nangka. Begitu pun doa dari para wali santri, alumni, dan simpatisan pondok pesantren ini senantiasa terdengar mengetuk-ngetuk pintu langit.

Semoga pesantren ini mampu menjadi rumah yang naung bagi semua penghuninya. Nilai-nilai keikhlasan dan perjuangan semua pihak, lantunan ayat-ayat suci, semoga juga mengundang datangnya barakah dan kesejukan yang dapat kita rasakan bersama saat ini, maupun kelak di akhirat.  

Keberadaannya di tengah ingar-bingar kehidupan kota, semoga menjadi komponen yang sanggup menetralisir “polusi” dan “kegaduhan.” Atau setidaknya menjadi nada penyeimbang demi menjaga harmoni, menjauhkan kota dari lagu dengan irama sumbang.

Betapa pun, Daru Tartila bagi saya adalah rumah bukan sembarang

rumah. Ia adalah rumah cahaya dengan jendela menghadap ke surga. Beruntung sekali saya karena sempat ngopi dan bermimpi di sana.   

Penulis : Al-Ustadz Saifir Rohman ( Pengabdian Al-Amien 2016-2017 )

Editor : Faiz Salman Al-Fariesy

Facebook
WhatsApp
Telegram

1 komentar untuk “Rumah Cahaya di Tengah Kota dengan Jendela Menghadap ke Surga”

  1. Karya yang luar biasa, susunan kata yang indah dan mengalir hingga tak terasa membacanya sampai di ujung kalimat.
    Apakah tulisan saya yang masih berantakan bisa hinggap di rubrik ini juga?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *