“Maaf, Saya Bawwab, Bukan Satpam”

SANGKAR PERDABAN — Dalam bahasa Arab, Bawwab memiliki makna “Penjaga pintu/gerbang”. Dalam tradisi kepesantrenan, Bawwab memiliki makna dan tanggung jawab lebih luas, bahkan tanggung jawabnya lebih besar dan lebih luas daripada maknanya. Misalnya, di pesantren seorang bawwab adalah santri yang menjaga secara bergantian (piket) keamanan, kenyamanan, bahkan kehormatan Kyai/Guru dan Pesantrennya. Dengan posisinya yang menjaga pintu terdepan/ gerbang, bermakna bawwab merupakan sosok terdepan yang siap menghadapi resiko apapun demi menegakkan dan melaksanakan amanat yang dipesan Kyai/ Guru  dengan prinsip “sami’na wa atho’na” (kami mendengar dan kami Ta’at).  

Petugas Bawwab ( Penjaga Gerbang )Pondok Pesantren Daru Tartila

Kenapa santri ? Karena santri adalah seseorang yang mendapatkan pendidikan di Pesantren dan diajarkan bahwa yang lebih penting dari ilmu itu sendiri adalah keberkahannya kemudian diberikan pemahaman bahwa di antara pintu-pintu keberkahan ilmu adalah menghormati guru. Ilmu penting, tapi ilmu yang berkah jauh lebih penting. Analoginya seberapa banyak orang berilmu dengan titel Professor, DR, S.Ag, Lc, MA, Menteri, Hakim, dan lain-lain menjadi tersangka atau pun mendekam dipenjara karena Kasus Korupsi, Gratifikasi, Money Laundering/ Pencucian Uang, Premanisme, Prostitusi, yang semua itu adalah alasan yang tampak. Adapun yang tidak tampak, bisa disebut karena ilmunya tidak berkah. Bisa jadi semasa belajar tidak menghormati guru, ingat Kisah Kanjeng Sunan Kalijaga, tanpa belajar pun hanya bermodal menjalankan sepenuh hati sabda gurunya yaitu Jaga Kali / sungai , bisa menjadi wali. Atau bisa jadi ilmunya tidak berkah di karenakan sebelum menulis makalah, membaca buku, memakai jilbab, memakai sepatu, tidak baca bismilah. Remeh Temeh memang, bukankah Rasulullah bersabda:

“Setiap pekerjaan yang baik, jika tidak dimulai dengan “Bismillah” maka (pekerjaan tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah)

(HR. Ibnu Hibban)”

 Demikian dari segi makna, adapun bawwab dari segi tanggung jawab:

  1. Seorang bawwab di pesantren, selain menjaga pintu dia juga menyampaikan pesan adab dan akhlak yang diajarkan di pesantren. Artinya, ketika seorang bawwab berpolah baik, maka baiklah seluruh pesantren bagi orang yang melihatnya, namun sebaliknya jika bawwab berpolah buruk maka buruklah seluruh pesantren dalam persepsi orang tersebut. Maka, seorang bawwab adalah orang-orang terpilih yang membawa nama baik pesantren
  2. Seorang bawwab, menjadi sosok terdepan menjaga keamanan, kenyamanan, bahkan kehormatan kyai/guru dan pesantrennya
  3. Seorang bawwab bergerak berdasarkan pengabdian, penghormatan, dan ungkapan terimakasih serta rasa sayang terhadap kyai, guru, santri, dan almamater atas ilmu yang diajarkan. Hal inilah yang membedakan antara loyalitas bawwab dan satpam, karena satpam bergerak berdasarkan bayaran/ gaji bulanan
  4. Seorang santri yang menjadi bawwab memiliki klasifikasi keilmuan yang cukup karena biasanya yang ditugaskan menjadi bawwab adalah santri-santri lama. terutama tentang wawasan kepesantrenan, karena dengan posisinya di depan dia harus siap menjadi jubir pesantren, menjelaskan kepada khalayak apa dan bagaimana pesantren terutama mencontohkan akhlak yang baik dalam melayani tamu

Lalu Bagaimana dengan belajar santri apabila dia menjadi bawwab di jam-jam sekolah? Yang perlu dipahami bahwa bawwab adalah bagian dari proses belajar-mengajar, sama dengan LDKS, OSIS, kepanitiaan Acara, yang melatih siswa belajar bertanggungjawab atas amanah yang diemban. Bukankah ketika LDKS siswa juga tidak belajar formal di kelas?? Karena Bawwab merupakan proses dari belajar itu sendiri, maka menjadi bawwab berarti dia sedang belajar. Kalau di kelas, siswa belajar teori, menjadi bawwab, siswa belajar secara praktek. Praktek bertatakrama yang baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sedemikian mulia tugas seorang santri yang terpilih menjadi bawwab, maka tepatkah disamakan dengan satpam? Apalagi, jika dilayangkan pertanyaan, “Apakah orangtuamu menyuruh kamu belajar di Nurjamilah atau khususnya Daru Tartila untuk jadi satpam?” pertanyaan provokatif yang sekaligus mengindikasikan bahwa:

  1. Yang bertanya tidak paham apa itu bawwab, 
  2. Yang bertanya tidak paham tradisi kepesantrenan, 
  3. Yang bertanya tidak mengerti seberapa besar hasrat seorang santri menginginkan keberkahan ilmunya dengan mengabdi dan menjalankan tugas dari pesantrennya
  4. Yang bertanya tidak mengerti keberkahan ilmu yang didapat apabila seorang santri sam’an wa tho’atan terhadap guru
  5. Yang bertanya  tidak peduli dampak yang timbul akibat pertanyaan yang berangkat dari ketidak tahuan ini

Semoga setelah membaca sedikit sharing-sharing pengetahuan dan pengalaman tentang bawwab dalam tradisi kepesantrenan ini bisa menambah wawasan dan memberikan pemahaman apa dan bagaimana bawwab, kecuali telinga dan hatinya telah tertutup. Jika diibaratkan kentut, semoga bau-nya (Baca: dampaknya) segera berlalu. Amin ya Robbal A’lamien. Sekali lagi, Anak-anakku Santri-santriyah Daru Tartila kita ucapkan, “Maaf, saya Bawwab, bukan Satpam”.

Penulis : Almarhum Al-Maghfurlah KH. Subhan Hafizh Ach, Lc, M.sos.

Editor   : Faiz Salman Alfariesy

Foto      : Abdul Aziz

    

Facebook
WhatsApp
Telegram

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *