PAKSA AGAR TERBIASA

Pandangan orang tentang pesantren kadang menyimpang dari kenyataan. Yang katanya lulusan pesantren cuma jadi tukang ceramah, mimpin tahlil, atau imam sholat di masjid-masjid kecil, dan sebagainya. Realita itu berbeda dengan apa yang saya alami ketika berkecimpung di dalamnya. Tepatnya di Pondok Pesantren Tahfizhil Qur’an Nurjamilah (DARU TARTILA), tempat saya nyantren di Kelurahan Kranji, Kota Bekasi.

          Daru Tartila mendidik para santri/yahnya menjadi khoirunnaas anfa’uhum linnaas. Bermanfaat untuk orang lain harus jadi cita-cita tertinggi. Karena gelar tinggi plus ‘mblerot’ tanpa dibarengi kemanfaatan juga sia-sia. Inilah sejatinya makna Rahmatan lil a’alami, menjadi rahmat untuk seluruh alam; alam manusia, tumbuhan, binatang, lingkungan, dll. Kalau belum bisa bermanfaat untuk seluruh alam, setidaknya rahmatan lihaulik, menjadi rahmat atau bermanfaat untuk sekitar kita.Selain itu proses pendidikan juga diisi dengan kegiatan-kegiatan islami yang menjadi rutinitas harian, seperti tahajjud, Dhuha, menambah ataupun memuroja’ah hafalan serta pendidikan bermanfaat lainnya. Pendidikan yang berorientasi membangun manusia; Generasi Robbi Rodliyya, Generasi yang ridho kepada Allah dan diridhoi Allah SWT.

Santri – Santriah Pondok Pesantren Tahfizhil Qur’an Daru Tartila    

      Pondok pesantren yang mengunggulkan program tahfizh ini tentu menyimpan puluhan bahkan ratusan kisah tentang masa sulit menghafal di dalamnya, termasuk saya yang berguru pada al-ustadzah Siti Asyrofah, SH.I. Perjalanan menghafal saya berawal dari keterpaksaan, bahkan kerapuhan. Tapi beliau selalu menguatkan. Bahkan kiai Subhan Hafidz Ach pun mengulurkan tangannya untuk menolong saya yang tenggelam dalam kerapuhan itu dengan mengajak saya ‘nimbrung’ dalam Komunitas Pegiat Literasi dan Seni Santri, KONSPIRASI: Sangkar Peradaban yang akan beliau rintis. Alhamdulillah saat ini sudah berjalan dan saya semakin bersyukur ada di dalamnya.

          Yang saya kagumi dari komunitas ini adalah falsafah bahwa Literasi adalah amanat wahyu. Perintah pertama Allah adalah membaca lalu menulis, “Bacalah (Qs. Al-A’laq ayat 1) lalu menulislah (Qs. Al-A’laq ayat 4)”. Membaca dan menulis adalah semangat literasi.  Karena amanat wahyu, maka membaca dan menulis bagian dari mengaji. Pola pembinaan tulis menulis yang memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan, Bimbingan Guru-guru menulis untuk masing-masing rubrik dalam Bulletin, seperti Kajian al-Qur’an, Kajian Hadits, Fiqih, Cerpen, Berita, bahkan puisi hingga melahirkan penulis-penulis berkarakter santri yang memenuhi ruang website Daru Tartila (darutartila.com), Madding Sangkar Peradaban, dan Bulletin “Akhbar Tartila” dan “Sangkar Peradaban” yang telah beberapa kali dipublikasikan dan dibawa pulang oleh para santri/yah. Satu lagi, di Konspirasi: Sangkar Peradaban kita juga disemangati dengan Kata-Kata Motivasi: Dengan Agama Hidup Lebih Terarah, Dengan Ilmu Hidup Lebih Mudah dan Dengan Seni Hidup Lebih Mudah.

          Selama proses menemukan jati diri saya yang sempat hilang benar-benar memerlukan waktu cukup lama. Beberapa paksaan dari dalam diri juga perkataan-perkataan orang lain yang saya pertimbangkan, sangat berpengaruh. Betul bergaul dengan siapa saja tapi tetap pilih-pilih. Bebas tapi awas bablas. Seperti kata Nabi SAW “Seseorang dilihat dari kawannya, berteman dengan tukang parfum jadi wangi, berteman dengan tukang arang ikut dapat hitamnya”. Terkadang beberapa hal perlu diawali dengan keterpaksaan agar bisa terbiasa, kalo sudah terbiasa toh tidak perlu dipaksa lagi. Hingga pada akhirnya, setelah berproses di Konspirasi: Sangkar Peradaban dan ikut menulis beberapa rubric, kiai Subhan Hafidz Ach mengatakan satu kalimat yang tak pernah terlupa “That’s you! Inilah kamu yang telah berbulan-bulan hilang”. Saya baru paham kemudian, bahwa dengan sengaja pak kyai melibatkan saya di Konspirasi: Sangkar Peradaban. Karena beliau tahu saya punya bakat menulis. Saya memang suka menulis. Saya dibawa masuk ke dunia yang saya suka untuk tengelam di dalamnya.  Perlahan-lahan memantik api semangat saya hidup kembali lalu menjalar ke tempat ngaji dan ruang akademis di sekolah. Alhamdulillah, saya saat ini sudah kembali ke track di mana seharusnya saya berada. Menjadi santriyah Daru tartila dengan tugas utama menghafal al-Qur’an dan terus belajar. Semoga saya tidak pernah kembali kembali lagi ke medan yang penuh keputus asaan. Terimakasih Kyai, terimakasih para Guru, terimakasih Konspirasi: Sangkar Peradaban. Sukses dengan cita-citanya: “Mengilmukan Hidup & Menghidupkan Ilmu. Amin

Selain itu, saya juga banyak belajar dari amanah sebagai pengurus Organisasi Santri ISTADALA (Ikatan Santri Tahfizh Daru Tartila). Di antara yang terpenting adalah saya belajar membagi waktu dan perhatian antara urusan pribadi dengan tanggung jawab organisasi. Bahkan saya dididik hal-hal kecil yang tak pernah saya dapatkan di luar pesantren, seperti cara menyapu yang baik, melipat baju, makan yang baik, menanam, mengambilkan makan untuk kawan yang sakit. dan lain sebagainya. Nampak remeh temeh tapi dari sana saya belajar empati, bagaimana kita hidup bersama dan saling memperhatikan kebutuhan-kebutuhan baik di antara kita dan di sekitar kita seperti kebersihan, kesehatan, kerapihan, kepantasan, dll. Etika sekaligus estetika. Bekal menghadapi dampak globalisasi yang semakin kejam karena mengesampingkan aspek-aspek nurani, moralitas, budi pekerti dan akhlakul karimah.

Organisasi ISTADALA ( Ikatan Santri Tahfizh Daru Tartila ) Putri     

Dengan ini, dapat kita simpulkan bahwa lulusan pesantren, khususnya pesantren saya DARU TARTILA tidak hanya bisa menjadi tukang ceramah. Tapi penceramah yang hafal Qur’an, pengusaha yang hafal al-Qur’an, dokter yang hafal al-Qur’an, apalagi sekedar presiden, insyaAllah alumni Daru Tartila bisa jadi presiden yang hafal al-Qur’an. So, Pandangan mereka biarlah hanya sebatas perkiraan, kita jawab dengan pembuktian.

Penulis : Adhya Adhillah

Editor : Faiz Al-fariesy

Facebook
WhatsApp
Telegram

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *